Kamis, 16 Februari 2012

sekolah sihir part 3


Altar merasa dia telah membeli semua perlengkapan yang dibutuhkan lalu kembali ke tempat yang disepakati. walaupun sebenarnya dia baru membeli seekor burung hantu saja. Benar saja Altar hanya butuh satu barang saja sebab semua barang yang dia butuhkan sudah disediakan oleh bapak dan mamahnya. Itu satu keuntungan tersendiri untuk Altar yang mempunyai orang tua penyihir terkenal dan dia hanya perlu memakai barang yang dulu milik orang tuanya, kalau orang jawa bilangnya sih nglungsuri.
Disana atau bisa aku ketik di tempat itu Altar dudu di sebuah kursi panjang dan melihat burung yang baru ia beli.
“burung ini sepertinya langka sekali, akan terasa kurang jika belum aku beri nama.” Altar menggaruk-garuk dagunya sambil lirik kanan kiri untuk memikirkan nama yang tepat untuk burung hantu barunya. “AHA! Karena bulumu berwarna biru keungu-unguan aku namai kau Phoenix. bagaimana? Keren kan?” burung hantunya Altar kaget kalau dia dinamai Phoenix dan menaik turunkan kepalanya tanda protes.
“Phoenix? nama yang sangat aneh untuk burung seperti itu, tapi tak apalah karena itu akan sesuai dengan pemiliknya yang aneh.” Seorang pria sombong dengan tatapan mata yang tajam, rambut kuning naik seperti super saiya, dan dahi selebar lapangan basket muncul di hadapan Altar. Dipundaknya terdapat burung elang jantan berwarna coklat yang membuatnya terlihat keren. Dia terlihat seperti anak konglemerat sebab semua peralatan yang dia bawa semuanya model baru. Dari karpet terbang model 2012 sampai topi koboi yang asli dari garut seperti yang digunakan para pengadu kambing.
“ah!? kau...” Altar menggeram.
“tak kusangka kau juga ada disini.” Kata anak yang membawa elang. “kau anaknya pak Harry Londo kan?”
“iya benar. Dan kau adalah...” Altar terhenti karena omongannya telah disambar terlebih dahulu sebelum dia selesai ngomong.
“tepat sekali aku adalah Qakus Amrik. Aku akan menjadi musuhmu dalam cerita ini.” Akhirnya anak tadi memperkenalkan dirinya. Altar bersyukur karena dia tidak harus susah-susah mengingat kembali namanya karena dia benar-benar lupa siapa orang ini.
“apa? Kau mau menjadi musuhku?” Altar tak mengerti.
“iya. Kau pikir itu burung sakti? Itu hanya burung sakit yang tak berguna... hahaha” Qakus tertawa menghina dan burung elangnya juga berkekek kekek ikut tertawa.
“karpet masjid mana itu? Kenapa kau membawanya?” Qakus terus saja mengejek Altar seperti layaknya musuh. “orang-orang bilang ayahmu pernah ke kementrian sihir inggris? Aku kira dia disana hanya untuk menjaga toiletnya.”
Yup.. memang hal itulah yang membuat Harry londo menjadi terkenal, dia pernah ke inggris bertempur melawan lord Voldemort, entah benar-benar melawan Voldemort atau dia hanya ikut-ikutan ngeksis supaya tercantum dalam sejarah aku juga tidak tau. Yang jelas dia terkenal sekarang dan jangan menuntut penulis kalau ini seperti cerita harry potter karena memang cerita ini diilhami olehnya.
Ejekan demi ejekan dilontarkan Qakus pada Altar yang membuatnya tertawa terbahak-bahak. Mungkin Altar sabar atau dia tokoh utama dalam cerita ini dan dituntut untuk memberi contoh yang baik. Altar hanya diam tak peduli dengan ejekan Qakus yang bertubi-tubi, dia menganggap hal ini tidak penting dan lebih memilih untuk membaca buku ‘panduan menjadi murid sekolah sihir yang baik dan disukai para gadis terutama gadis seksi’. Benar-benar anak ini. Sukanya baca buku yang aneh-aneh.
Tak berapa lama para rombongan anak-anak sekolah sihir berdatangan kembali berkumpul. Setelah berdoa dan melakukan upacara bendera, rombongan kembali masuk lift dan menuju ke atap. Di atap ada 2 buah karpet terbang raksasa yang besarnya hampir sama dengan lapangan sepakbola. Karpetnya berwarna merah kalem dan agak sedikit malu-,malu dan satunya lagi berwarna biru cerah ceria. Semua orang diminta mengenakan jaket kutub yang tebalnya seperti kasur, mungkin karena nanti saat perjalan akan dingin makannya mereka disuruh mengenakan jaket itu. Altar menaiki karpet merah dan tak dapat menemukan Nanda dan Jek dimanapun dan sejauh mata memandang. Beberapa saat kemudian ia baru sadar kalau rombongan ini setengah dari rombongan yang tadi, berarti Nanda dan Jek berada di karpet yang satu lagi begitu pikir Altar.
Karpet merah yang dinaiki Altar sudah penuh sesak dengan orang-orang. Altar berada paling pojok di karpet, dia selalu memilih tempat pojok bukan karena dia suka mojok, bukan juga suka memojokan, bahkan dia dipojok bukan karena takut ditonjok, melainkan dia suka dipojok karena Altar menganggap ini tempat paling fleksibel yang pernah dibuat manusia. Di pojokan Altar bisa melakukan segala hal yang dia mau. sebenarnya bukan segala hal sih namun dalam konteks tersebut kata ‘segala hal’ sebenarnya hanya terdapat 1 hal saja yaitu pipis.
Kemudian Altar kecewa karena pojokan yang satu ini tidak 3D atau 3 dimensi. Di karpet terbang ini tak ada sekat tegak lurus siku-siku yang dapat untuk tempat pipis dengan nyaman. Karena kecewa dan sakit hati Altar mengurungkan niatnya untuk pipis di pojokan karpet terbang untuk menandakan itu wilayahnya.
Ada yang aneh dengan orang-orang disini. Tak ada yang berpakaian konyol seperti Altar yang memakai topi koboi, sarung tangan pelangi, dan sepatu boots warna merah muda. Mereka semua saling ngobrol dengan asiknya tanpa mempedulikan Altar yang berpakaian aneh ada dipojokan di antara mereka. Ini mungkin anak-anak kelas 2 yang berarti mereka semua adalah kakak kelas Altar.
Altar mulai cemas kalau dia ketauan naik karpet besar yang salah. Dia cepat-cepat mencari jalan keluar dari karpet tersebut dan menjejal-jejal diantara kakak kelasnya untuk mencapai depan karpet tempat diamana ia pertama kali naik, padahal Altar bisa saja melangkah sekali saja mengingat posisinya tadi yang ada di pojokan karpet. Namanya juga orang panik, Altar sudah hampir menjejal sampai kedepan karpet ketika suara mantar terdengar MIBER  karpet yang tadi masih berada di atap gedung mulai terbang menuju gumpalan awan putih yang besarnya sama dengan karpet terbang raksasa itu.

apa yang terjadi selanjutnya? itu semua adalah misteri bersambung...

1 komentar: