Jumat, 24 Februari 2012

sekolah sihir part 4


Altar panik kuadrat ketika karpetnya naik keatas, rasanya lebih geli 5x lipat daripada naik lift. Altar mulai meliarkan tangannya untuk mencari sesuatu yang mungkin bisa dipakai untuk berpegangan, alih-alih dapat pegangan yang mantap dan kencang dia malah tak sengaja memegang sesuatu yang empuk apakah sesuatu yang empuk itu? Ya benar itu adalah sebuah, seonggok, seutas, atau apapun satuan yang pas untuk menggambarkan pantat. Bukan sembarang pantat, yang dipegangnya tapi pantat seorang kakak kelas yang kebetulan dia banci.
“Auwwww…” jerit kakak kelas yang banci itu. Semua teman-temannya memalingkan pandangannya kepadanya.
“Heh! Kamu tu kurang ajar banget ya. Eike cubit lho, ihhh cebel dech”  dia mencubit pipi Altar. Altar hanya terdiam kaku dan tangannya masih berpegangan di pantat si banci.
“Hei bukankah itu anak Harry Londo yang terkenal itu. Angie lepaskan dia!” Warneng pria yang ada di dalam lift tadi menepis tangan Angie yang masih mencubit Altar.
“Bukankah namamu Altar?” Tanya Warneng.
“Iya, aku Altar Zimbaque, aku anaknya Harry Londo dan Genie ohjini.” Altar memperkenalkan dirinya walau Warneng hanya ingin jawaban iya atau tidak saja.
Orang-orang berbisik dan bergumam sambil melirik Altar yang bersalaman dengan Warneng. Mereka saling ngobrol dan  Warneng memberitahu apa saja yang diketahui tentang Wahkun Madrasah of sihir.
Ternyata awan yang dituju oleh karpet raksasa itu bertujuan untuk menyelubungkan dari pandangan orang awam. Ketika memasuki awan laju Karpet tidak terlalu terasa dan hanya hawa dingin yang sungguh terlalu dan itu alasannya kenapa mereka menggunakan jaket yang setebal kasur.
“Jadi ini karpet khusus kelas 2 ya?” Tanya Altar.
“Iya, kau berarti tadi salah menginjak karpet merah dan seharusnya kan karpet biru. Di karpet ini kita akan menempuh jalur yang lebih cepat daripada karpet biru.” Ucap Warneng.
“kenapa begitu?” Tanya Altar singkat.
“itu karena kau akan mendapat pertunjukan-pertunjukan menarik dari serikat sihir sepanjang perjalanan.” Warneng merubah posisinya dari berdiri menjadi duduk bersila dan mengajak Altar melakukan hal yang sama. “pegel juga berdiri dari tadi.” Tambahnya.
“Pertunjukan yang bagaimana maksud kakak?” Tanya Altar lagi
“Ya semacam kembang api, manufer-manufer karpet yang berbahaya, dan mungkin beberapa hadiah dari guru-guru.” Warneng mengeluarkan ekspresi mengingat-ingat sambil menggaruk dagunya. “Aku jadi ingat waktu dulu aku pertama kali naik karpet terbang biru. Rasanya menyenangkan sekali saat-saat itu. Hah…” diiringi hembusan nafasnya Warneng selesai bercerita tentang masa-masa pertamanya di sekolah sihir ini. Walau cerita Warneng sangatlah lempeng karena sangat singkat gak ada orientasi, gak ada konflik, gak ada klimaks, tapi karena Altar adalah anak yang polos dia suka-suka aja mendengar cerita berkecepatan cahaya dari Warneng.
Beberapa waktu berlalu dan hawa dingin yang tadinya mencekam kini sirna. Altar masih saja mendengarkan cerita-cerita Warneng yang sama kilatnya dengan cerita-cerita sebelumnya.
“Perhatian semua! Sebentar lagi kita akan sampai dan lepas jaket kalian lalu gunakan sebagai bantalan agar terhindar dari benturan.” Terdengar suara keras dari depan karpet dan semua orang mulai melepas jaketnya dan menggunakannya sebagai tempat duduk. Altar ikut-ikutan apa yang dilakukan oleh orang-orang aneh disekitarnya.
“kita sudah sampai di hutan barat dan sebentar lagi kita sampai.” Suara bergema kembali terdengar dari depan karpet.
Awan yang tadinya menyelubungi karpet mulai memudar, mereka tepat diatas hutan yang sebagian sudah berupa lahan pertanian dan itulah potret hutan Indonesia saat ini. Jadi jangan rusak hutan untuk lahan pertanian, lahan perkebunan sawit, atau yang lainnya, kasihan kan hewan-hewan yang nantinya akan punah. Mending hutan di rusak buat tempat karoke kan enak tu hutannya jadi gak sepi.
Karena semua orang dalam posisi duduk dan tak memakai topi koboi sama seperti yang dipakai Altar, alhasil semua orang melihat kearah Altar dan menyadari kalau dia berbeda. Lho kok baru sadar, memangnya tadi yang lain pada ngapain? Seorang pembaca bertanya-tanya dalam pikirannya. Lalu penulis memberi penjalasan kalau tadi sebagian besar orang dikarpet merah tak tau kalau Altar ada disana dan hanya orang-orang dekat Angie dan Warneng yang tau.
“Hei lihat ada anak kelas satu disini!” seseorang dari belakang berteriak dan menunjuk ke Altar. Semua orang memperhatikan Altar dengan ekspresi aneh, ada ekspresi merasa bingung, ekspresi jijik, ekspresi ingin tertawa, bahkan ada yang berekspresi dengan wajah seperti menahan kentut, tak lama kemudian ekspresi wajah orang itu menjadi berseri-seri diiringi bau bangkai tercium dimana-mana. Ternyata dia memang sedang menahan kentut dari tadi.
Seekor nyamuk seukuran jempol tangan orang dewasa datang menghampiri Altar. Nyamuk yang sangat besar, cukup besar untuk menyedot habis darah di bisul ayah Altar yang memang beberapa hari lalu terserang penyakit Bisulinolian yaitu penyakit bisul yang berukuran diatas rata-rata.
“Anak kelas satu naik ke karpet merah?” ada suara tepat di depan Altar tapi tak ada yang berbicara. Yang dia lihat hanya anak-anak kelas dua yang bengong menatapnya dan seekor nyamuk besar gemuk memakai kacamata. “Kenapa kau berada di karpet ini nak?” tanya suara yang tak ada rupa.
“Kak Warneng, siapa yang berbicara denganku, tak ada orang tapi aku mendengar suara.” Altar bertanya pada Warneng yang berada disebelahnya.
“Perhatikan nyamuk itu! Cepat perhatikan!” suruh Warneng sambil menunjuk kearah nyamuk besar yang ada di depan Altar.
Altar mengangguk tanda mengerti dan mengambil sesuatu dari dalam tasnya dan yang dikeluarkannya adalah ‘BAYBAY’ semprotan pengusir nyamuk.
“Tamatlah riwayatmu nyamuk raksasa!” wusssshh... disemprotkannya semprotan pengusir nyamuk pada nyamuk besar yang ada di depan Altar dan dia menambahkan slogan iklan. “Yang lebih mahal banyak.”
Semua anak terlihat kaget dengan apa yang dilakukan Altar. Warneng segera merebut semprotan pengusir nyamuk dari tangan Altar dan anak-anak yang lain mengambil nyamuk yang berputar-putar pusing akibat habis disemprot.
“Bodoh! Apa yang kau lakukan?” bentak Warneng.
“Katamu tadi suruh matikan nyamuknya.” Jawab Altar polos.
“Aku tadi bilang perhatikan, bukan matikan.” Warneng menampar jidatnya sendiri sedangkan anak-anak lain menyerbu dan berkerumun pada nyamuk besar yang telah terjatuh. “Kau tau siapa nyamuk itu sebenarnya?”
“mmm... biar aku tebak!” Altar mulai berpikir selama 2 detik dan “Oke aku menyerah, beritahu aku.”
“dia, nyamuk yang kau semprot itu adalah-Profesor-Molak-Malik penerbang karpet ini.” Jelas Warneng dengan perasaan cemas dan marah dan disingkat menjadi Percemarah (perasaan cemas marah).
“Jadi?” tanya Altar santai.
“jadi kita tak akan bisa berhenti naik karpet terbang ini karena hanya Profesor Molak Maliklah yang tau mantra menghentikan karpet ini.” Suasana semakin tegang karena satu-satunya orang yang tau cara menggunakan karpet terbang raksasa ini sedang tak sadarkan diri, padahal mereka sudah sangat dekat dengan Wahkun Madrasah of Sihir. Konflik yang sangat bagus menurut saya.

Kamis, 16 Februari 2012

sekolah sihir part 3


Altar merasa dia telah membeli semua perlengkapan yang dibutuhkan lalu kembali ke tempat yang disepakati. walaupun sebenarnya dia baru membeli seekor burung hantu saja. Benar saja Altar hanya butuh satu barang saja sebab semua barang yang dia butuhkan sudah disediakan oleh bapak dan mamahnya. Itu satu keuntungan tersendiri untuk Altar yang mempunyai orang tua penyihir terkenal dan dia hanya perlu memakai barang yang dulu milik orang tuanya, kalau orang jawa bilangnya sih nglungsuri.
Disana atau bisa aku ketik di tempat itu Altar dudu di sebuah kursi panjang dan melihat burung yang baru ia beli.
“burung ini sepertinya langka sekali, akan terasa kurang jika belum aku beri nama.” Altar menggaruk-garuk dagunya sambil lirik kanan kiri untuk memikirkan nama yang tepat untuk burung hantu barunya. “AHA! Karena bulumu berwarna biru keungu-unguan aku namai kau Phoenix. bagaimana? Keren kan?” burung hantunya Altar kaget kalau dia dinamai Phoenix dan menaik turunkan kepalanya tanda protes.
“Phoenix? nama yang sangat aneh untuk burung seperti itu, tapi tak apalah karena itu akan sesuai dengan pemiliknya yang aneh.” Seorang pria sombong dengan tatapan mata yang tajam, rambut kuning naik seperti super saiya, dan dahi selebar lapangan basket muncul di hadapan Altar. Dipundaknya terdapat burung elang jantan berwarna coklat yang membuatnya terlihat keren. Dia terlihat seperti anak konglemerat sebab semua peralatan yang dia bawa semuanya model baru. Dari karpet terbang model 2012 sampai topi koboi yang asli dari garut seperti yang digunakan para pengadu kambing.
“ah!? kau...” Altar menggeram.
“tak kusangka kau juga ada disini.” Kata anak yang membawa elang. “kau anaknya pak Harry Londo kan?”
“iya benar. Dan kau adalah...” Altar terhenti karena omongannya telah disambar terlebih dahulu sebelum dia selesai ngomong.
“tepat sekali aku adalah Qakus Amrik. Aku akan menjadi musuhmu dalam cerita ini.” Akhirnya anak tadi memperkenalkan dirinya. Altar bersyukur karena dia tidak harus susah-susah mengingat kembali namanya karena dia benar-benar lupa siapa orang ini.
“apa? Kau mau menjadi musuhku?” Altar tak mengerti.
“iya. Kau pikir itu burung sakti? Itu hanya burung sakit yang tak berguna... hahaha” Qakus tertawa menghina dan burung elangnya juga berkekek kekek ikut tertawa.
“karpet masjid mana itu? Kenapa kau membawanya?” Qakus terus saja mengejek Altar seperti layaknya musuh. “orang-orang bilang ayahmu pernah ke kementrian sihir inggris? Aku kira dia disana hanya untuk menjaga toiletnya.”
Yup.. memang hal itulah yang membuat Harry londo menjadi terkenal, dia pernah ke inggris bertempur melawan lord Voldemort, entah benar-benar melawan Voldemort atau dia hanya ikut-ikutan ngeksis supaya tercantum dalam sejarah aku juga tidak tau. Yang jelas dia terkenal sekarang dan jangan menuntut penulis kalau ini seperti cerita harry potter karena memang cerita ini diilhami olehnya.
Ejekan demi ejekan dilontarkan Qakus pada Altar yang membuatnya tertawa terbahak-bahak. Mungkin Altar sabar atau dia tokoh utama dalam cerita ini dan dituntut untuk memberi contoh yang baik. Altar hanya diam tak peduli dengan ejekan Qakus yang bertubi-tubi, dia menganggap hal ini tidak penting dan lebih memilih untuk membaca buku ‘panduan menjadi murid sekolah sihir yang baik dan disukai para gadis terutama gadis seksi’. Benar-benar anak ini. Sukanya baca buku yang aneh-aneh.
Tak berapa lama para rombongan anak-anak sekolah sihir berdatangan kembali berkumpul. Setelah berdoa dan melakukan upacara bendera, rombongan kembali masuk lift dan menuju ke atap. Di atap ada 2 buah karpet terbang raksasa yang besarnya hampir sama dengan lapangan sepakbola. Karpetnya berwarna merah kalem dan agak sedikit malu-,malu dan satunya lagi berwarna biru cerah ceria. Semua orang diminta mengenakan jaket kutub yang tebalnya seperti kasur, mungkin karena nanti saat perjalan akan dingin makannya mereka disuruh mengenakan jaket itu. Altar menaiki karpet merah dan tak dapat menemukan Nanda dan Jek dimanapun dan sejauh mata memandang. Beberapa saat kemudian ia baru sadar kalau rombongan ini setengah dari rombongan yang tadi, berarti Nanda dan Jek berada di karpet yang satu lagi begitu pikir Altar.
Karpet merah yang dinaiki Altar sudah penuh sesak dengan orang-orang. Altar berada paling pojok di karpet, dia selalu memilih tempat pojok bukan karena dia suka mojok, bukan juga suka memojokan, bahkan dia dipojok bukan karena takut ditonjok, melainkan dia suka dipojok karena Altar menganggap ini tempat paling fleksibel yang pernah dibuat manusia. Di pojokan Altar bisa melakukan segala hal yang dia mau. sebenarnya bukan segala hal sih namun dalam konteks tersebut kata ‘segala hal’ sebenarnya hanya terdapat 1 hal saja yaitu pipis.
Kemudian Altar kecewa karena pojokan yang satu ini tidak 3D atau 3 dimensi. Di karpet terbang ini tak ada sekat tegak lurus siku-siku yang dapat untuk tempat pipis dengan nyaman. Karena kecewa dan sakit hati Altar mengurungkan niatnya untuk pipis di pojokan karpet terbang untuk menandakan itu wilayahnya.
Ada yang aneh dengan orang-orang disini. Tak ada yang berpakaian konyol seperti Altar yang memakai topi koboi, sarung tangan pelangi, dan sepatu boots warna merah muda. Mereka semua saling ngobrol dengan asiknya tanpa mempedulikan Altar yang berpakaian aneh ada dipojokan di antara mereka. Ini mungkin anak-anak kelas 2 yang berarti mereka semua adalah kakak kelas Altar.
Altar mulai cemas kalau dia ketauan naik karpet besar yang salah. Dia cepat-cepat mencari jalan keluar dari karpet tersebut dan menjejal-jejal diantara kakak kelasnya untuk mencapai depan karpet tempat diamana ia pertama kali naik, padahal Altar bisa saja melangkah sekali saja mengingat posisinya tadi yang ada di pojokan karpet. Namanya juga orang panik, Altar sudah hampir menjejal sampai kedepan karpet ketika suara mantar terdengar MIBER  karpet yang tadi masih berada di atap gedung mulai terbang menuju gumpalan awan putih yang besarnya sama dengan karpet terbang raksasa itu.

apa yang terjadi selanjutnya? itu semua adalah misteri bersambung...

Kamis, 09 Februari 2012

sekolah sihir part 2


Lift itu menuju keatas dengan kecepatan sedang. Altar, Nanda, dan Jek berada di pojokan lift dengan Altar yang berkeringat dingin mengalir deras di kepalanya. Altar ternyata takut naik lift, semasa kecil Altar sering nonton tentang lift yang macet, lift yang jatuh, dan lift berhantu. Altar juga takut kalau-kalau nanti saat pintu lift terbuka muncul sesosok suster ngesot dan Altar tak tau apa yang harus dilakukan. Apakah dia harus menjerit, menendangnya, atau meminta tanda tangan pada suster ngesot itu?
“kenapa kau Al? Kok jadi pucet begitu?” tanya Nanda heran karena Altar gelisah berada di pojokan. “mau pipis ya? Pipis aja dipojokan, gak akan ada yang tau kok paling ntar aku intip doang hehe...”
“gak kok, aku gak kebelet pipis, emang aku kalau lagi terlalu semangat begini jadi agak pucet.” Jawab Altar tak jujur.
“oh ya udah kalau begitu. Tenangin dulu perasaan semangatmu Al kakak kelas kita sebentar lagi naik lift ini.” Nanda menata pakaianya dan membenarkan posisi koboi warna putihnya. “ingat harus selalu sopan terhadap senior, kalau gak ntar pas Ospek kita gak akan tenang dan mati penasaran.” Jelas Nanda dengan wajah seram.
“apa?! Sampai mati penasaran? Gila senior-senior itu!” Altar semakin pucat wajahnya seperti bayi kuda laut. Sedangkan Nanda mengira Altar lebih semangat daripada sebelumnya.
Lift mulai berhenti dan pintu tebuka. Sekelompok anak remaja menggukan pakaian bebas dan membawa tas besar masuk secara tertib kedalam lift.
“selamat pagi pak alis tebal yang mukanya kriput.” Sapa salah satu remaja yang baru masuk lift. Dia tak menyebutkan nama orang tua beralis tebal tersebut, sepertinya penulis tak ingin memunculkan namanya secara cepat.
“kenapa kau memanggilku dengan ciri-ciri tubuhku Warneng? Sapalah dengan benar!” kata pak tua alis tebal sambil mengernyitkan alisnya yang tebal.
“yah bapak kok nyalahin saya? Salahin tu penulisnya gak boleh nyebutin nama bapak dulu katanya.” Jelas remaja tampan yang diketahui namanya adalah Warneng Mindring.
“hei penulis amatir! Kenapa namaku gak lu sebutin sekarang ha..?” tanya pak tua alis tebal kepadaku yang waktu itu sedang sibuk ngerjain PR bahasa Inggris.
“crewet lu, aku lagi nyari-nyari dulu nama yang keren dan kreatif buat nama kamu nih. Sekarang kembali ke benang merah oke!” kataku sambil mengacungkan jempol.
Akhirnya cerita ini kembali ke benang merah dan lift mulai naik kembali keatas. Altar semakin pucat melebihi yang tadi karena lift semakin sempit dan naiknya terasa berat. Dia khawatir kalau-kalau liftnya jatuh kebawah seperti apa yang dia sering lihat waktu kecil dulu.
Para senior tidak memperhatikan para juniornya dan bertindak seakan tak peduli, sedangkan para junior berusaha keras menarik perhatian senior dengan segala cara agar mereka lebih mudah dikenal dan lebih mudah mengakrabkan diri. Ada sebagian dari mereka menarik perhatian dengan menyanyi, menari, membuat boyband, memasak, bersolek, dan ada juga yang ekstrim menarik perhatiannya seperti menodong para senior cewek, menodong senior yang kelihatannya laki tapi gak laki karena minum yang rasa-rasa, dan yang paling ekstrim menarik perhatiannya adalah percobaan pembunuhan pada senior yang dianggap ‘killer’ oleh juniornya.
Hal ini telah dimaklumi disetiap tahun pelajaran baru. Pak tua alis tebal itu membiarkan hal-hal tersebut karena telah dianggap biasa olehnya.
Altar tidak tau harus melakukan apa agar dapat menarik perhatian seniornya. Altar sejenak berpikir dan memutuskan ikut anak-anak lain mencari perhatian dengan percobaan pembunuhan senior killer tapi Nanda menarik Altar dan memintanya agar tidak melakukan hal ekstrim tersebut.
Perjalanan naik lift itu akhirnya berakhir ketika pintu lift mulai terbuka dan sangat sepi keadaan diluar lift, seperti bukan bagian dari mall saja tempat ini. Tempat yang terlihat suram dan orang mondar-mandir memakai baju panjang hitam. Altar sempat berfikir kalau ada orang yang meninggal karena semua orang yang dilihatnya memakai baju warna hitam, tapi pikiran itu dihilangkan oleh senggolan Nanda yang menunjukan kepapan nama tempat itu yang bertuliskan.



*Pasar sihir*
    Tempat belanja peralatan sihir dan semacamnya




“nah sekarang kalian aku berikan waktu satu jam untuk berbelanja keperluar sihir kalian sebelum kita berangkat kesekolah sihir.” Jelas pak tua beralis tebal. Tanpa menunggu perintah semua anak berlari menyebar kesegala arah seakan ada Bom didekat mereka.

Altar ingat sepertinya dia pernah diajak bapak mamahnya kesini waktu masih kecil dulu, dia juga ingat kalau ada sebuah toko tua di sebuah gang sempit yang menjual berbagai perlengkapan penyihir. Altar berjalan menjauh meninggalkan Nanda yang sedang mengejar Jek karena dia mulai berjalan lagi menuju toko pakaian dalam wanita khusus penyihir.
Dia ingat betul gang ini, gang gelap, basah, bertembok retak, seperti di film-film Hollywood dimana selalu diambil gambar gembel yang berada di dekat api. Di ujung gang terdapat toko serba ada dengan papan nama yang sudah tak bisa dibaca lagi.
Altar perlahan membuka pintu toko itu yang penuh dengan debu TIIING... suara bel pintu bergaung dalam toko, beberapa burung mengangkat kepalanya melihat kearah pintu. Seorang lelaki tua botak segera menyambut kedatangan Altar dari arah kasir.
“silahkan melihat-lihat anak muda. Ada yang bisa aku bantu?” Kata lelaki tua itu dengan gemetar.
“iya pak ada.” Sahut Altar sambil mengeluarkan buku catatannya dari dalam tas sempit yang dijejali karpet terbang tua milik orang tuanya. “aku membutuhkan seekor burung, burung pengantar pesan.” Tambahnya.
“kalau burung ada di rak ketiga itu nak, silahkan dilihat-lihat dulu dan dipilih. Ada bermacam-macam burung disini dari burung garuda sampai burung cucak rowo ada semuanya.” Lelaki tua itu menunjukan tempat burung-burung diletakkan.
Altar berjalan ke rak ketiga sambil melihat-lihat sekitar yang memang banyak debu pada barang-barang toko itu. Saat sampai ke rak burung tak banyak yang bisa dilihat. Tulang-belulang burung berada di sangkarnya dan masih tersisa beberapa burung disana. Tak heran burung-burung itu mati. Makanan, minuman burung itu sudah jarang di stok oleh pengurus toko.
Altar tertarik pada burung hantu di pojokan berwarna biru keungu-unguan. Dia pernah dengar dari ayahnya kalau di inggris para penyihir menggunakan burung hantu untuk mengantar pesan tapi beda kolam beda ikannya, lain di inggris lain di Indonesia, di Indonesia penyihir mengirim pesan dengan menggunakan burung bangau yang notabennya masih banyak dan tidak dianggap punah oleh pemerintah, jadi burung bangau bebas diperjual belikan.
“yang ini berapa pak?” Altar membawa burung yang dipilihnya kekasir dan menanyakan harganya.
“kalau yang itu 150 ribu nak.” Kata lelaki tua penjaga kasir.
“yah mahal amat! 75 deh. Boleh gak?” tawar Altar.
“jangan segitu anak muda. 120 gimana?”
“gak ah pak masih mahal itu. 80 deh.”
“115”
“ya udah pak.” Sambil memeragakan gerakan pada saat ‘end’ pada kata ‘loe, gue, end’ “ini kalau boleh ya pak, kalau gak boleh ya udah ini penawaran terakhir saya 10 ribu gimana?” tambah Altar.
“mmm....” penjaga kasir pikir-pikir dulu. “ya udah deh bawa aja, buat penglaris.” Jawab lelaki tua penjaga kasir pasrah.
“senang berbisnis dengan anda.” Altar menjabat tangan penjaga kasir dan keluar dengan perasaan berseri-seri.
Sesusai berjabat tangan dengan Altar lelaki tua penjaga kasir tadi menyadari 2 hal. Hal yang pertama adalah dia ingat kalau belum menyiram kotorannya yang ada di WC tadi pagi. Hal yang kedua adalah dia sadar kalau anak yang baru saja keluar dari tokonya adalah anaknya Harry Londo penyihir terkenal yang tinggal di Semarang yang merupakan pelanggan nomor 1nya itu.
Agar menambah efek dramatis lelaki tua itu menengok kejendela dan melihat ke gang diama Altar masih berjalan disana membawa burung hantu berwarna biru keungu-unguan. Dan lelaki tua itu berkata. “apapun yang terjadi nak. Minumnya teh botol sosro!”

Sabtu, 04 Februari 2012

sekolah sihir


SEKOLAH SIHIR

Dipagi buta dihari sabtu, Altar Zimbaque sudah bangun dari mimpi indahnya mimpinya untuk menjadi penyihir terhebat didunia fiksi buatan pengarang cerita ini. Bukan karena rajin atau memang Altar tidur kesorean melainkan dia bangun pagi sekali karena masalah sakit perutnya dan kita semua tau kalau sakit perut harus kemana.
Di negara Indonesia raya merdeka ini Altar Zimbaque akan memulai tahun pertamanya dalam sekolah sihir paling besar yaitu Wahkun Madrasah of Sihir.
Altar adalah pemuda tinggi berambut hitam berwajah manis dan agak memiliki kelainan tingkah laku dibanding anak sebayanya. Meskipun begitu Altar adalah anak dari pasangan penyihir hebat Harry Londo dan Genie ohjini sehingga membuatnya terkenal.
Tak terasa sudah 2 jam Altar berada di WC menuntaskan urusan perutnya. Tiba-tiba datang seekor burung bangau putih entah dari mana masuknya membawa surat untu Altar. Surat itu berisi demikian

  Dear Altar zimbaque
 
sehubungan dengan formulir yang anda kirimkan kepada kami untuk mendaftar di sekolah Wahkun madrasah of sihir. Kami memutuskan bahwa:
Nama:                Altar Zimbaque
Umur:                13 tahun
Nomor:               69
Domisili:            semarang

Telah Diterima dalam sekolah sihir kami. Maka ditunggu kedatangannya pada hari jumat besok di Mall matahari dengan membawa persyaratan yang tertera di formulir sebelumnya. Gak ada lu gak rame!!

                                                                                       Panitia pendaftaran
                                                                       
           
                                                                                    Jeferson Tungkak

Betapa senangnya Altar membaca surat pengumuman tersebut dia langsung berdiri dan tak sadar kalau dia baru saja memutuskan ekor sekundernya.
Tanpa basa-basi Altar kemudian berlari menuju kedua orang tuanya yang sedang berada di meja makan untuk sarapan.
“pak, akhirnya aku diterima di Wahkun” kata Altar memberitahukan ayahnya sambil melompat-lompat.
“iya iya sudah tenang aja, sarapan dulu sini!” suruh pak Harry sambil menggeser kursi supaya Altar bisa duduk.
“hmmmm... baunya enak sekali mah, pasti masak sup buntut buaya lagi ya?” tebak Altar kepada mamahnya yang sedang masak didapur. Memang Altar ini suka memanggil ayahnya dengan Bapak sedangkan ibunya dengan Mamah yang sebenarnya tidak serasi.
“penciumanmu kayak anjing deh nak, hebat banget.” Ibu Genie mulai menyajikan makanan di meja makan.
“yah mamah ngatain anak sendiri kayak anjing padahal aku kan kayak babi mah.” Altar membalas candaan ibunya.
Pagi itu mereka sarapan dengan lahap dan pak Harry berjanji kepada Altar untuk menemaninya belanja perlengkapan sihir besok.

Sudah 6 hari setelah Altar menerima surat dari Wahkun madrasah of sihir, itu berarti ini sudah hari jumat, hari dimana Altar harus berkumpul di Mall matahari seperti pada surat. Altar sudah tak sabar untuk berangkat dan menyruh ayahnya agar cepat emnyiapkan mobilnya.
Seperti yang ada di Inggris, kaum penyihir disini juga rahasia. Mereka menyembunyikan dirinya dari hiruk pikuk manusia normal yang ada di sekitarnya dan tak ingin ada yang mengetahui kalau mereka adalah penyihir.
Akhirnya Altar dan ayahnya sampai di Mall Matahari, Altar mulai mengenakan pakaian yang harus dipakai yaitu topi koboi, sarung tangan pelangi dan sepatu boots warna merah muda tak lupa karpet terbang yang dimasukkannya dalam tas. Terlihat mencolok memang, tapi ternyata tak hanya Altar yang memakai pakaian yang bisa dibilang konyol itu, beberapa anak di dekat lift juga mengenakan pakaian yang sama anehnya dengan Altar, itu berarti tak hanya Altar yang mendaftar dari semarang. Lalu Altar memutuskan untuk mendekati anak-anak dekat lift itu.
“hai, apa kabar? Apakah kalian baik-baik saja?” sapa Altar sangat formal seperti dalam acara rapat negara.
“hai juga, kabarku baik kok, kamu sendiri?” jawab seorang cewek cantik berambut lurus hitam legam dan pipi tembem yang bikin gemes kayak bakpao.
“aku juga baik kok. Kenalkan namaku Altar Zimbaque. Nama kamu siapa?” Altar mengulurkan tangan.
“namaku Nanda, Nanda Nanibia.” Nanda menyambut tangan Altar yang diselimuti saeung tangan pelangi. “dan kenalkan ini temanku Jek, Jek Kongo.” Dia menunjuk cowok di sebelahnya yang wajahnya tertutup oleh topi koboinya.
Ternyata cowok yang bernama Jek itu tidur dalam posisi berdiri. Cowok berkulit coklat gelap ini sangat pulas tidurnya dan berdiri seperti orang sadar dan jelas dia terlatih melakukan hal ini.
“ngomong-ngomong kita disini ngapain ya?” tanya Altar.
“kita disini nungguin panitia penyambutan dari Wahkun madrasah of sihir.” Nanda kemudian mengeluarkan bungkusan dari dalam tasnya. “mau beling rasa rumput laut?” dia menawari Altar.
“tidak, terima kasih. Jadi kau juga baru pertama kali masuk sekolah Wahkun?” tanya Altar mengakrabkan diri.
“iya, hei kau mempunyai karpet terbang model tahun 1987, ini sudah lama sekali bukan?” Nanda kagum dengan karpet terbang milik orang tua Altar yang kebetulan masih bagus dan terawat.
“iya ini milik orang tuaku. Sebenarnya kau ber...” tiba-tiba lift terbuka dan Altar menghentikan pembicaraan dan menjulurkan kepalanya dalam lift.
Serombongan anak memakai pakaian konyol seperti Altar berkerumun dalam lift yang dari luar tampak kecil dan dari dalam tampak luas seluas cintaku padanya.
“kalian mau sekolah atau hanya ingin bergaya dengan baju konyol kalian?” seorang pria beralis tebal, tua, berkeriput menawari Altar masuk dalam lift. Jek yang masih tidur ternyata dapat berjalan sambil tidur dan masuk lift dan perjalanan ke sekolah sihir dimulai.

bersambung...